Friday, April 6, 2012

Doktrin Tasawuf tentang Ittihad

“Doktrin Tasawuf tentang Ittihad”
Doktrin Tasawuf tentang Ittihad

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah 
Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu:
Dr. H. Hamzah Tualeka ZN, M.Ag
194802011986031002
Oleh
Saidatur Rohmah E72211038
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011

A. Pendahuluan
Ittihad merupakan tingkatan bagi seorang sufi setelah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad dipandang sebagai ajaran doktrinal karena memadukan eksistensi dua wujud yang terpisah (wahdah al-wujud). Hal ini bertentangan dengan konsep Kesatuan Wujud (wahdah al-wujud). Jika dipahami sebagai “kesatuan”, ittihad digunakan dalam arti bahwa segala sesuatu sesungguhnya tiada dan eksistensi adalah kepunyaan Allah. Kata ini juga mengacu pada pengalaman kesatuan dengan Allah.
Doktrin ittihad ini merupakan salah satu dari beberapa ajaran sufi terpenting, terutama yang bersumber dari Abu Yazid al-Bustami. Tak hanya ittihad, fana dan baqa juga merupakan beberapa ajaran sufi terpenting. Antara ketiganya mempunyai hubungan yang erat, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu adalah ittihad. Sehingga tidak hanya fana dan baqa yang penting bagi seorang sufi, ittihad pun juga demikian karena dengan ittihadlah seseorang tersebut bisa mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Ittihad juga dianggap sebagai faham yang bertentangan dengan Islam, sehingga tidak banyak yang membicarakannya. Walaupun begitu ittihad adalah suatu tingkatan yang mengantarkan seorang sufi untuk menyatu dengan Tuhannya.

B. Pengertian Doktrin Tasawuf tentang Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana atau hilangnya kesadaran dirinya sebagai manusia, maka pada saat itulah ia telah menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa.
Doktrin sendiri bermakna ajaran (asa aliran politik, keagamaan, dsb.) secara bersistem, dalam penyusunan kebijakan negara.  Untuk tasawuf berarti suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada kehidupan kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela.  Sedangkan Ittihad adalah salah satu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, salah satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.  Sehingga makna doktrin tasawuf tentang ittihad berarti suatu aliran yang dialami seseorang untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat hingga sedekat mungkin dengan Tuhan, sehingga dia telah merasa dirinya itu telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, yaitu pertukaran antara yang mencintai dan dicintai (antara sufi dan Tuhan). Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan dicintai. Selain itu, dalam ittihad seorang sufi merasakan bahwa identitas telah hilang dan telah menjadi satu yang disebabkan karena ke-fana’-annya dan tidak sadar lagi berbicara dengan nama Tuhan.  
Maka dari situlah tidak mengherankan jika antara sufi dan Tuhan memanggil dengan kata-kata “Hai Aku”. Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:
فيقول الواحد للاخر يا ا نا
Maka yang satu kepada yang lainnya mengatakan “aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya mahasuci aku, maka yang dimaksud aku di situ bukanlah sufi itu sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.  
Faham ittihad ini bagi orang yang bersikap toleran, dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang teguh pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Karena itulah ittihad ini berada dalam lapangan yang kurang terang. Para ulama syariat Islam bahkan memandang ittihad itu bertentangan dengan islam.
Masalah ittihad, hulul, dan tauhid memang tidak banyak dibicarakan, ini karena pembunuhan tokoh sufi yaitu al-Hallaj yang dituduh mempunyai paham “Hulul”. Sehingga banyak tokoh sufi yang takut mempersoalkan tersebut, agar tidak mempunyai nasib yang sama.

C. Tokoh Ittihad
Salah satu tokoh yang menyebarkan dan membawa ajaran ittihad ini adalah Abu Yazid al-Bustami.  Beliau dilahirkan di Bistam Persia pada tahun 874 M, dan meninggal dalam usia 73 tahun.  Nama kecilnya adalah Thaifur. Ibunya seorang zahid dan Abu Yazid amat patuh padanya. Walaupun orang tuanya adalah salah satu pemuka agama di Bistam, akan tetapi Abu Yazid hidup dalam kesederhanaan dan menaruh kasih sayang pada fakir miskin. Abu Yazid jarang keluar dari Bistam dan ketika dikatakan kepadanya bahwa orang yang mencari hakekat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, ia menjawab: “Temanku ( yang dimaksud adalah Tuhan) tidak pernah bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan. Dia senantiasa ingin dekat kepada Tuhan, yang dimulai dengan timbulnya paham fana dan baqa dalam tasawuf. Ia memberi jalan bagaimana supaya dapat dekat di hadirat Tuhan. Dia menjelaskan, suatu malam ia bermimpi dengan berkata:
يا خدا كيف الطريق اليك؟ فقال دع نفسك وتعالى
Artinya:
“Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada Mu? Dia menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Abu Yazid setelah mengetahui proses pendekatan diri kepada Allah, melalui fana ia meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan. Keberadaan ia dapat dilihat apa berada dekat atau belum pada Tuhan melalui “SYATAHAT” yang diucapkan. Adapun Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang sufi pada permukaan ia berada di pintu gerbang ittihad, seperti ucapan dia:
لست اتعجب من حبى لك فاناعبد فقير ولكن اتعجب من حبك لى وانت مالك قدير
Artinya:
“Aku tidak heran melihat cintaku pada Mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran melihat cinta Mu padaku karena Engkau adalah Raja Mahakuasa”. 

D. Kesimpulan
Menurut Abu Yazid al-Bustami terdapat beberapa ajaran sufi yang erpenting yaitu fana, baqa, dan ittihad. Ketika seorang sufi berada dalam keadaan fana atau hilangnya kesadaran dirinya sebagai manusia, maka pada saat itulah ia telah menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Antara fana, baqa, dan ittihad itu saling berhubungan, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu adalah ittihad. Sehingga tidak hanya fana dan baqa yang penting bagi seorang sufi, ittihad pun juga demikian karena dengan ittihadlah seseorang tersebut bisa mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Berbeda dengan fana dan baqa yang begitu banyak tokoh sufi yang membicarakannya, ittihad dianggap sebagai faham yang bertentangan dengan islam sehingga tidak begitu banyak tokoh sufi yang membicarakannya. Walaupun demikian masih terdapat tokoh sufi yang dikenal sebagai 
penyebar dan pembawa ajaran ittihad yaitu Abu Yazid al-Bustami.

E. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini, apabila terdapat suatu kesalahan pemakalah mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena tiada gading yang tak retak begitu pula dengan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat, terutama bagi pemakalah sendiri. Maka dari itu pemakalah mengharapkan adanya suatu kritik dan saran yang nantinya bisa membangun makalah berikutnya. 




Daftar Pustaka
Tulaeka, Hamzah, dkk. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: Sunan ampel press. 
Mustofa, Ahmad. 1995. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Pustaka Setia.
Rivay Siregar, Ahmah. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Armstrong, Amatullah. 1996. Kunci memasuki dunia tasawuf. Bandung: Mizan.


Doktrin Tasawuf tentang Ittihad

No comments:

Post a Comment