Saturday, April 7, 2012

“Ilmu Tauhid”





MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Kalam
Dosen pengampu:
Budi Ichwayudi, M. Fil. I
197604162005011004
Oleh
Rofiqi Halili                                        E82211044
Nur Hidayatus Sholichah                    E82211052
Saidatur Rohmah                                E72211038

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012

A.   Pendahuluan

Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah. Ilmu ini memiliki nama-nama lain selain ilmu kalam yaitu: ilmu tauhid, aqidah, ushuluddin, al-fiqh al-akbar, dan teologi islam. Ilmu Tauhid dinamakan nama lain dari ilmu kalam karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia lebih menyerupai logika (kalam).  Sedangkan menurut Harun Nasution, perbedaan ilmu tauhid dengan ilmu kalam adalah ilmu tauhid itu biasanya kurang mendalam dalam pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selain itu, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi islam.[1]
Arti dari ilmu tauhid sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah SWT yang wajib diyakini. Dalam sejarah sudah ditunjukkan bahwa pengertian mengenai ilmu tauhid ini sudah lama sekali, yaitu sejak diutusnya Nabi Adam kepada anak cucunya. Secara singkat dijelaskan bahwa sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu pulalah telah diketahui dan diyakini adanya dan Esanya Allah SWT. Dan jika diselidiki dari sejarah pertumbuhan agama dan perkembangannya, maka sejarah Tauhidpun harus dikembalikan pada kepada asal mula pertumbuhan sejarah, yaitu permulaan manusia mengenal sejarah.

B.   Definisi Ilmu Tauhid

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “Wujud Allah”, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari pada-Nya.
Asal makna Tauhid sendiri adalah meyakinkan bahwa Allah adalah “satu”, tidak ada syarikat bagi-Nya. Maka dari itu ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena ilmu ini menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah dalam zatNya dan dalam perbuatanNya. Keyakinan (tauhid) inilah yang menjadi tujuan peling besar bagi kebangkitan Nabi Muhammad SAW.[2]
Dalam ilmu ini, dibahas tentang arkan al-iman dan masalah ghaib lainnya yang wajib diimani. Namun, ada sebagian ulama yang membatasi pembahasan ilmu tauhid pada persoalan ketuhanan saja tanpa membahas rukun-rukun islam yang lain. Sehingga tujuan utama ilmu tauhid yaitu mengesakan Allah pada zat maupun perbuatan-Nya. Menurut para ulama Ahl as-Sunnah:
واما التوحيد : ان الله تعالى واحد في لا قسيم له, وواحد في صفاته الازلية لا نظير له, وواحد في افعاله لا شريك له.
Artinya:
“Adapun tauhid itu ialah bahwa Allah itu Esa dalam Dzat-Nya tidak terbagi-bagi. Esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali, tiada bandingan bagi-Nya, dan Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.[3]

C.   Sejarah Perkembangan Ilmu Tauhid

Tauhid adalah mengetahui atau mengenal keesaan Allah SWT. Dalam sejarah sudah menunjukkan bahwa pengertian tauhid sudah lama sekali. Yaitu sejak permulaan manusia menduduki bumi ini yaitu Nabi Adam, sejak itulah telah diketahui dan diyakini adanya dan Esanya Alah SWT. Hingga Nabi-Nabi berikutnya, semua Nabi tersebut mengajar dan meyakinkan bahwa yang menjadikan alam atau pencipta alam semesta ini adalah Allah SWT yang Maha Esa.
Jika tauhid diselidiki dari segi sejarah pertumbuhan agama dan perkembangannya, maka tauhid itu haruslah dikembalikan kepada asal mula pertumbuhan sejarah, yaitu permulaan manusia mengenal sejarah. Sejarah-sejarah bangsa yang mula-mula diketahui adalah: Mesir, Yunani, Babilona, India, Tiongkok, dan lain-lain.
1. Perkembangan Ilmu Tauhid di masa Rasulullah saw.
Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat al-Anfal ayat 46, yang artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.    Dan surat Al-Maidah ayat 15, yang artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”.
Pengalaman pahit orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur. Mereka melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah menumbuhkan rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya golongan yang saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah dan Mulkaniah.
Perbedaan  pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya:  “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
2. Perkembangan Ilmu Tauhid pada masa Khullafaurrasyidun.
Masa permulaan khalifah Islam khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap seperti masa Rasulullah saw. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk menghadapi musuh, mempererat persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka membaca dan memahami al-Quran tanpa takwil, mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka imani dan menyerahkan pentakwilannya kepada Allah swt sendiri.
Masa khalifah ke tiga, Usman bin Affan, mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga Usman sendiri terbunuh. Usman Islam pecah berpuak-puak dengan pandangan sendiri. Untuk mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka menakwilkan ayat-ayat suci dan Hadits Rasulullah saw. Malahan ada diantara mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
3. Perkembangan Ilmu Tauhid di masa Daulah Umayyah.
Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”),  dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “ahlu at-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.
4. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.
Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penterjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam. Dalam masa ini muncul polimik-polimik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar, al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
5. Perkembangan Ilmu Tauhid sesudah Daulah Abbasyiah.
Sesudah kemunduran Daulah Abbasyiah, golongan asy’ariyah yang sudah terlalu jauh menggunakan filsafat dalam alirannya tidak banyak mendapat tantangan lagi. Hanya sedikit mendapat reaksi dari golongan Hambaliyah yang tetap berpegang pada pandangan golongan Salaf, beriman dengan apa yang sudah disebutkan al-Quran dan Hadits Rasulullah saw  tanpa memerlukan takwil. Pada abad ke delapan Hijriah muncullah Ibnu Taimiyah menentang aliran Asy’ariyah, karena terlalu berlebihan menggunakan filsafat dalam pembahasan Ilmu Tauhid. Timbullah pro dan kontra, ada yang membenarkan Ibnu Taimiyah dan ada yang menganggapnya sesat. Usaha Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qaiyim al-Jauziyah. Sesudah itu pembahasan Ilmu Tauhid terhenti.
      Hilang gairah kaum muslimin untuk mempelajari dan mengembangkannya, kecuali hanya membaca kitab-kitab yang sudah ada saja. Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir dengan munculnya Sayid jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini disebut gerakan Salafiyah.
                                           
D.    Metode-metode Ilmu Tauhid

Pertama  adalah cara pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri.
Kedua, pandangan-pandangan yang selama ini berkembang bahwa “ijtihad” telah tertutup dan tidak mungkin ada lagi orang yang mampu menandingi kwalifikasi intelektual generasi awal, juga perlu ditinjau kembali. Untuk hal ini tentu saja dituntut kesediaan dan keberanian kaum muslimin untuk melakukan kerja-kerja intelektualyang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dinamika kaum muslimin.
Ketiga adalah pendekatan empiris. Pendekatan ini menunjukkan realitas sebagai kebenaran yang tidak dapat diingkari. Al Syafi’i, pendiri mazhab fiqh, telah menggunakan metode ini untuk keputusan-keputusan fiqhnya, misalnya ketika ia melakukan penelitian untuk menentukan masa haid dan kedewasaan seseorang. Dalam wacana fiqh, metode ini dikenal dengan sebutan “istiqra”. Metode ini dapat digunakan bukan hanya untuk disiplin ilmu-ilmu alam dan pasti tetapi juga untuk untuk disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora. Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan : “al haqiqah fi al a’yan la fi al zhan” (hakikat kebenaran terletak pada wilayah realitas-empiris dan bukan pada wilayah spekulasi intelektual). Pengakuan atas kebenaran realitas empiris juga dikemukakan oleh Al Razi al Syafi’i. Ia mengatakan :”Secara jujur harus dikatakan bahwa kebenaran makna teks harus didasarkan pada bukti-bukti empiris dan sumber-sumber yang “mutawatir”.
Keempat sumber-sumber otoritas keagamaan perlu dikaji dan dianalisis melalui pendekatan konteks bahasa (al siyaq al lisani), konteks sejarah social (siyaq al zhuruf wa al ahwal al ijtima’iyah) dan kebudayaan (siyaq al ahwal al madaniyah) ketika teks-teks tersebut diturunkan atau disampaikan. Pendekatan ini menjadi sangat pentinguntuk dapat memahami teks secara benar. Sebab tidak satu tekspun yang dapatmelepaskan diri dari kondisi-kondisi, ruang dan waktu. Ia tidak mungkin diturunkanatau disampaikan dalam ruang yang hampa. Teks bagaimanapun diarahkan kepadaorang baik secara individual maupun kolektif dalam nuansa-nuansa, zaman dantempat tertentu. Konsekwensi logis dari pendekatan ini adalah bahwa keputusanilmiyah pada suatu masa dan suatu tempat tidak bisa selalu relevan dengan tempus dan lokus yang lain. Tidak dapat diingkari siapapun bahwa alam selalumemperlihatkan perubahan-perubahan yang tidak pernah berhenti. Dalam arti lainkehidupan manusia selalu dalam proses perubahan yang terus menurus, sebuah prosesyang dinamis. Pendekatan teks melalui konteks kesejarahan dewasa ini dikenal dengan istilah pendekatan kontekstual.
Kelima kaum muslimin tidak seharusnya menutup diri dari pikiran-pikiran dan produk-produk ilmiyah orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika iamemang bermanfaat. Sikap eksklusif adalah bertentangan dengan norma ilmu pengetahuan. Watak ilmu pengetahuan adalah terbuka bagi siapa saja dan di mana saja. Pada sisi lain sikap ini juga tidak sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad saw yang menyatakan :”uthlubu al ‘ilma wa lau bi al shin” carilah ilmu pengetahuan walaupun di negeri Cina. Nabi juga menyatakan : “Al Hikmah dhallah al Mukmin Haitsu ma wajada al mukmin dhallatah falyujmi’ha ilaihi” (ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari tangan kaum muslimin. Maka jika dia menemukannya hendaklah dia mengambilnya kembali”. Di sinilah tugas kaum muslimin sekarang; mengambil kembali supermasi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki di manapun dia melihatnya di Timur maupun di Barat, dan bukannya menutup diri atau bahkan menolaknya hanya karena mereka adalah ”the others”.

E.   Tauhid dalam Agama-agama Bumi

Jika dilihat dari segi asalnya, maka semua agama dimuka bumi ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
-          Agama samawy
yaitu agama yang turun dari hadirat yang Maha Tinggi, yaitu agama yang berasal dari wahyu Tuhan yang menjadikan alam ini yang diwahyukan kepada rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat mereka masing-masing. Dasar kepercayaan dalam agama samawy dari permulaan turunnya kepada Nabi dan Rasul Tuhan yang pertama sampai kepada Nabi dan Rasul yang terakhir, semuanya sama yaitu: mengajarkan kebaikan, bahwa “Tuhan Yang Maha Kuasa itu hanya satu, Tiada Tuhan selain Dia, yaitu Allah. Agama samawy ini agama yang paling tua, karena Nabi Adam as nenek moyang segala manusia telah menerima pengajaran yang demikian dari Tuhan.
Adapaun agama samawy yang masih ada hingga sekarang yaitu:
a.       Agama yahudi
b.      Agama nasrani
c.       Agama islam
Dari ketiga agama tersebut yang masih tetap teguh pada dasar aslinya adalah agama islam. Adapun agama yahudi dan nasrani sudah banyak kemasukkan faham agama Thabi’y, terutama yang paling jelas kelihatan ialah agama Nasrani (kristen), dasar tauhidnya yang asli sebagaimana yang diajarkan Nabi Isa sudah hilang sama sekali.
-          Agama thabi’y
Yaitu agama yang timbul dari angan-angan khayal manusia belaka. Dinamai agama Thabi’y karena timbulnya agama yang demikian hanya semata-mata dorongan dari thabiat manusia yang ingin beragama, ingin mengabdi dan memuja kepada sesuatu yang dianggapnya maha kuasa atas dirinya. Bukan berasal dari wahyu illahi. Dasar keyakinan dalam agama thabi’y mengenai ketuhanan tidaklah tegas, karena dasarnya hanyalah khayal belaka, seluruhnya dapat dikatakan musyrik. Agama thabi’y ini dinamai juga agama ‘alam, karena pujaan dalam agama ini kepada benda (thabi’at), atau memakai wasilah dengan alam, seperti memuja dewa-dewa dan berhala.
Adapun agama thabi’y yang masih ada hingga sekarang amat banyak seperti: agama hindu, budha, majusi, dan semua alirannya. Serta semua agama dan aliran kepercayaannya yang timbul dari khayal semata, yang bukan dari wahyu Illahi, seperti agama Kuring dan sebagainya yang ada di Indonesia ini.[4]

F.    Dasar-dasar Al-Qur’an dan Hadits tentang Risalah Tauhid

حديث ابن عباس رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعث معا ذا رضيالله عنه على اليمن قال : انك تقدم على قوم اهل كتاب , فليكن اول ما تدعوهم اليه عبادة الله, فاءذا عرفوا الله فاءخبرهم ان الله قد فرض عليهم خمس صلوات فى يومهم وليلتهم, فاءذا فعلوا فاءخبرهم ان الله فرض عليهم زكاة من اموالهم وترد على فقراءهم فاءذ اطاعوا بها فحذمنهم وتوق كراءم اموال الناس.
Artinya:
Ibn Abbas r.a berkata: Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal r.a ke Yaman, berpesan: Anda akan menghadapi orang-orang ahli kitab, karena itu harus pertama yang anda ajarkan kepada mereka tauhid dalam beribadat kepada Allah, maka bila mereka telah mengerti benar, beritahukan pada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sholat 5 waktu tiap hari semalam, dan bila mereka telah mengerjakan itu, beritakan pada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan zakat harta untuk diberikan kepada fakir miskin mereka, maka bila mereka taat pada itu, maka anda terima dari mereka, dan berhati-hati jangan mengambil milik kesayangan mereka. (Bukhori-Muslim)

G.  Tauhid di Zaman Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW

Nabi Adam adalah nenek moyang manusia yang pertama dan sebagai pemimpin anak cucunya. Nabi Adam bertugas untuk mengajarkan tauhid yang khalis murni kepada anak cucunya, merekapun tunduk dan taat kepada ajaran Nabi Adam yang meng-Esakan Allah SWT.
Karena fitrah manusia yang suka dipimpin dan diatur, jika pemimpinnya sudah tidak ada lagi maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan dari jalan yang semula lurus menjadi keadaan yang kacau balau. Demikian juga dengan umat Nabi Adam, setelah beliau wafat semuanya kocar-kacir. Sehingga Allah mengutus nenek moyang manusia yang kedua yaitu Nabi Nuh.
Tugas Nabi Nuh sama halnya dengan tugas yang diemban oleh Nabi Adam sebelumnya. Dan setelah Nabi Nuh wafat, umat kehilangan pemimpin dan kembali kacau hingga datanglah Nabi Ibrahim yang selain mengajarkan dan memimpin ketauhidan kepada Allah SWT. Juga mengajarkan dan membawa syari’ah yang diantaranya disyari’atkan dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai bukti adanya hubungan yang erat antara syari’ah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW.
Diantara Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW banyak pula Nabi-Nabi yang diutus Allah untuk mengemban ketauhidan umat manusia diantaranya: Nabi Musa dan Nabi Isa AS.
Tugas Nabi Muhammad SAW yaitu untuk mengembalikan dan memimpin umat kepada tauhid dengan ikhlas dan dengan semurni-murninya, sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dahulu. Tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad ini sebagaimana yang digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Di zaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat  tidak pernah meragukan dan menanyakan sifat-sifat Allah karena semua itu telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Begitu juga dalam hadits, tidak terdapat hadits yang membuktikan bahwa sahabat menanyakannya kepada Rasul mengenai sifat-sifat Allah. Hingga masa sahabat ketauhidan tidak ada bedanya dengan di zaman Nabi.
Sampai akhir abad pertama hijriah, barulah muncul seorang yang bernama Jaham Ibnu Shafwan di negeri Parsi yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah SWT seperti Ilmu, Qudrat, dan lain-lain. Sehingga banyak para muslimin yang terpengaruh oleh ajaran tersebut. Ditambah dengan munculnya suatu aliran yang bernama Mu’tazilah yang juga membenarkan apa yang dipikirkan oleh Jaham, yaitu menafikkan sifat-sifat Allah SWT.
Namun ajaran ini tidak begitu mendapat respon yang baik di Indonesia bahkan di negara-negara Islam lainnya.

H.  Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ilmu tauhid adalah suatu pedoman yang harus di yakini oleh setiap orang yang beriman, karena dengan mengetahui ilmu tauhid maka orang tersebut akan mengenal tuhannya secara mendalam juga mengenal sifat-sifatnya dan mengetahui dirinya pula (siapa dirinya sendiri). Ilmu tauhid sangat penting sekali untuk di pelajari karena kita harus menomersatukan tuhan sebagai sang kholiq.
Dan Tauhid dalam agama-agama bumi jika dilihat dari segi asalnya terdapat dua agama yaitu agama samawi dan agama Thabi’y. Dalam agama samawi ini terdapat agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.  Sedangkan dalam perkembangannya agama yang masih memegang teguh dasar tauhid yang asli adalah islam.

I.      Kritik dan Saran

Demikian makalah ini, apabila terdapat suatu kesalahan pemakalah mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena tiada gading yang tak retak begitu pula dengan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat, terutama bagi pemakalah terutama. Pemakalah mengharapkan adanya suatu kritik dan saran yang nantinya bisa membangun makalah berikutnya.






















Daftar Pustaka

·         Abdul Mu’in, M. Taib Thahir. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta: Widjaya.
·         Hakim, Agus. 1996. Perbandingan Agama. Bandung: Diponegoro.
·         Ali Nadawi, Abul Hasan. 1999. Risalah Tauhid. Bandung: Mizan.
·         Abduh, Muhammad. 1963. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
·         Rochimah, dkk. 2011. Ilmu Kalam. Surabaya: Sunan Ampel Press.








[1] Rochimah, dkk., Ilmu Kalam (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2011), 3-5; Abul Hasan Ali Nadawi, Risalah Tauhid (Bandung: Mizan, 1999), 36-37; Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), 3-4.
[2] Nadawi, Risalah Tauhid, 36.
[3] Abduh, Ilmu Kalam, 4-5.
[4] Agus Hakim, Perbandingan Agama (Bandung: Diponegoro, 1996), 13-14.

No comments:

Post a Comment